Terdakwa Ipal Hanya Dituntut 10 Bulan Penjara BOM Kukar Laporkan Jaksa Penuntut Umum ke Komisi Kejaksaan
Koordinator LSM BOM Kukar Efri Novianto (kiri) akan melaporkan JPU ke Komisi Kejaksaan Photo: Joe
|
KutaiKartanegara.com - 05/05/2006 08:13 WITA
Terkait dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai sangat ringan terhadap terdakwa kasus penggunaan ijazah palsu (ipal) yakni oknum Wakil Ketua DPRD Kutai Kartanegara (Kukar), Jo, membuat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Barisan Oposisi Murni (BOM) Kutai Kartanegara balik mengadukan Jaksa Nanang Gunaryanto SH dan Sopian Latoriri SH yang menangani kasus tersebut ke pihak Komisi Kejaksanaan Republik Indonesia di Jakarta.
Kegundahan pihak LSM BOM Kukar itu berawal dari berkas perkara bernomor 549 tahun 2005 setebal 46 halaman yang dibacakan kedua JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Tenggarong itu yang menetapkan tuntutan hukuman bagi Jo hanya selama 10 Bulan.
Karuan saja pihak LSM BOM Kukar menganggap tuntutan itu sebagai bentuk preseden (pengalaman) buruk dalam dunia hukum khususnya di Kukar yang sedang mencanangkan penegakan supremasi hukum untuk mencapai pemerintahan bersih dan berwibawa oleh Bupati Prof Dr H Syaukani MM.
Tuntutan JPU yang dibacakan pada sidang pada Rabu (03/05) lalu itu terlalu ringan dan melanggar ketentuan hukum yang sebenarnya. "Seharusnya JPU bisa menuntut lebih dari 10 Bulan," ujar Koordinator LSM BOM Kukar Efri Novianto dalam siaran persnya yang diterima KutaiKartanegara.com kemarin.
Menurutnya, sesuai dengan tuntutan Jaksa pada sidang sebelumnya bahwa Jo dikenakan dakwaan berlapis yaitu pasal 263 ayat 2 KUHP jo pasal 69 ayat 2 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Selain itu terdakwa Jo juga membuat pernyataan palsu di muka pengadilan dengan tidak mengakui ijazah SMA Negeri 1 Suguminahasa Gowa Sulawesi Selatan yang terbukti atas nama Hasnawati dan mengakui mengunakan ijazah Ujian Persamaan (UPER) tahun 2001 yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kaltim tetapi kemudian berdasarkan keterangan saksi-saksi dari Disdik Kaltim ternyata juga palsu.
Ijazah juga merupakan akta otentik (pasal 264 KUHP) yang ancamannya sampai 8 tahun penjara. "Kami melihat tuntutan JPU yang meminta terdakwa Jo divonis 10 bulan penjara terlalu ringan, tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukannya," tambah Efri.
Oleh sebab itu, lanjut Efri, wajar bila pihaknya mempertanyakan kembali kualitas kedua jaksa yang diajukan Kejari Tenggarong. Untuk itu LSM BOM Kukar akan mengajukan kedua JPU Kejari Tenggarong tersebut ke Komisi Kejaksaan di Jakarta dengan tuduhan melanggar KUHP dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. "Karena mengajukan tuntutan di pengadilan yang terlalu ringan," tambahnya.
BOM juga menilai pihak Kejari Tenggarong dalam menangani kasus ini tidak serius dan kurang responsif serta tidak melakukan kewajibannya sebagaimana diatur dalam UU No 8/1981 (KUHAP) pasal 20 ayat 2 tentang penahanan terhadap terdakwa.
"Kalau kemarin Pengadilan Negeri Tenggarong kami laporkan ke Komisi Yudisial, sekarang giliran JPU Kejari Tenggarong yang dilaporkan ke Komisi Kejaksaan. Hal ini sebagai bentuk kepedulian kami terhadap penegakan Supremasi hukum di Kukar," katanya.
Diharapkan dengan adanya pengaduan LSM BOM ke Komisi Kejaksaaan ini mendapat dukungan dan kerjasama dari setiap elemen masyarakat di Kukar. "Baik yang tergabung dalam OKP, Ormas, LSM dan BEM untuk sama-sama menyikapi permasalahan ini, sehingga ke depan keadaan yang sama tidak terulang lagi," demikian katanya. (joe)
|