KutaiKartanegara.com 10/03/03
Ketua APKASI Drs H Syaukani HR MM setuju jika pemilihan kepala daerah
seperti Bupati atau Walikota dilakukan secara langsung oleh masyarakat. Hal ini
diungkapkan Syaukani dalam diskusi interaktif "Indonesia First Channel" yang
disiarkan langsung oleh Trijaya FM 104,75 MHz tadi pagi di Jakarta.
Diskusi interaktif yang mengambil
tema "Otonomi Daerah: Kebijakan Setengah Hati" ini menampilkan Drs H Syaukani HR
MM (Ketua APKASI/Bupati Kukar) sebagai pembicara bersama Dr Syarif Hidayat (Staf
Peneliti LIPI) dan Muhammad Akil Mochtar SH (Anggota DPR RI). Diskusi interaktif
"Indonesia First Channel" dilaksanakan di Hotel Grand Hyatt Jakarta dengan
dipandu oleh tokoh pers nasional kawakan, Parni Hadi.
Dalam diskusi ini dibahas mengenai
implementasi otonomi daerah yang kesannya masih setengah hati diberikan pemerintah pusat
kepada daerah, masalah revisi Undang Undang Otonomi Daerah, tudingan terhadap kurang
harmonisnya hubungan Gubernur dengan Bupati/Walikota, dan salah satu topik yang cukup
menarik serta menjadi perdebatan adalah sistem pemilihan Bupati atau Walikota secara
langsung oleh masyarakat.
"Salah satu ciri khas dari
pelaksanaan otonomi daerah adalah demokratis, semua dilaksanakan sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Nah, mengapa tidak jika pemilihan bupati dilaksanakan secara langsung oleh
masyarakat." kata Syaukani.
Menurut Syaukani, konsekuensi dari
pemilihan langsung ini berarti bupati pun dapat pula di-impeach (diberhentikan) oleh
masyarakat sebelum masa jabatannya berakhir. Syaukani juga mengusulkan agar sistem
pemilihan langsung Bupati ini menggunakan Undang-Undang yang dibentuk khusus diluar UU
Otonomi Daerah yg sudah ada.
Syarif Hidayat setuju dengan
Syaukani terhadap sistem pemilihan langsung Bupati ini. Namun menurutnya, untuk
impeachment (pemberhentian dari jabatan) tidak dapat dilakukan secara langsung oleh
masyarakat, mungkin melalui mekanisme DPRD kemudian diajukan ke lembaga yang ada di pusat.
Sementara itu Akil Mochtar pesimis
dengan pemilihan langsung ini karena menurutnya pemilihan bupati/walikota secara langsung
tidak sama dengan pemilihan kepala desa. "Pemilihan bupati secara langsung tidaklah
gampang, karena harus ada panitianya seperti halnya panitia khusus di DPR RI.
Masing-masing daerah juga tidak sama kemampuannya. " kata Akil Mochtar. Namun
menurutnya lagi, tidak menutup kemungkinan pemilihan langsung dilaksanakan jika masyarakat
di daerah memang menghendakinya.
Parni Hadi yang menjadi moderator pun menimpali, jika daerah sudah siap mengapa tidak
dicoba saja, misalnya Kutai Kartanegara.
Diskusi interaktif ini juga menerima
telepon dari para pendengar yang ingin memberikan tanggapan. Tercatat 7 penelepon yang
masuk memberikan opini dan kritiknya, umumnya mereka setuju jika bupati dipilih secara
langsung oleh masyarakat. Seperti penelepon pertama yakni Simanjuntak dari Jakarta, ia
menyambut baik jika pemilihan bupati dilakukan secara langsung oleh rakyat namun ia
meminta jabatan bupati tersebut cukup untuk 1 kali saja, karena ia khawatir jika Bupati
menjabat 2 periode karena keserakahan untuk memperkaya diri.
Senada dengan penelepon pertama, Syamsul Bahri -juga dari Jakarta- mendukung
dilaksanakannya pemilihan langsung Bupati oleh masyarakat dan menyarankan agar jabatan
Bupati juga cukup satu periode saja bukan karena masalah serakah atau tidak serakahnya.
Sementara seorang penelepon dari Makasssar menyoroti pelaksanaan otonomi daerah yang
kesannya bukan untuk mensejahterakan rakyat, melainkan hanya untuk mensejahterakan elite
politik dan elite massa di daerah saja misalnya dengan gencarnya pembelian mobil-mobil
dinas baru bagi pejabat-pejabat di daerah.
Novelis Indonesia populer, La Rose pun turut memberikan opininya. La Rose menyoroti masih
banyaknya SDM di daerah yang belum siap untuk menjalankan program dari pusat, misalnya
program Ketahanan Pangan yang masih tidak siap dilaksanakan di daerah. La Rose dalam
kesempatan itu juga menyampaikan pujiannya kepada Bupati Syaukani HR terhadap pesatnya
pembangunan di Kutai Kartanegara.
Menanggapi opini para penelepon mengenai masa jabatan bupati, Syaukani mengatakan perlunya
dibentuk Undang-Undang yang membatasi jabatan seorang bupati. Apakah dia menjabat selama 1
periode atau 2 periode sebenaranya tidak masalah, yang penting nawaitu-nya (niatnya)
adalah keberpihakan kepada masyarakat. "Kalau memang niatnya sudah bukan untuk
mensejahterakan masyarakat, jabatan bupati tersebut cukup satu periode saja." tandas
Syaukani.
Diskusi interaktif yang berjalan
selama dua jam ini berakhir sekitar pukul 09.40 WIB. Selain dapat didengarkan masyarakat
ibukota, diskusi menarik ini juga dipancarluaskan oleh jaringan Trijaya FM di Semarang,
Yogyakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Jayapura. Siaran Trijaya FM ini juga dapat
diikuti oleh seluruh masyarakat Indonesia dan Asia Pasifik dengan menggunakan satelit
Telkom 1. (win) |