
Salah satu gedung peninggalan perusahaan tambang
batubara yang dibiarkan tak terawat
Photo: Agri |
|
|
KutaiKartanegara.com 28/03/04 23:44 WITA
Bangunan
tua peninggalan perusahaan tambang batubara milik Belanda yang
kini masih berdiri kokoh di tikungan jalan Loa Kulu itu tampak
tak terawat. Rerumputan liar tumbuh dengan subur di pekarangan,
sementara akar-akar pohon beringin yang melilit erat dinding
bangunan ini menambah suram keadaan bangunan tua tersebut.
Magazijn,
begitulah tulisan yang masih dapat terbaca dibalik pepohonan liar
yang menutupi teras bangunan kolonial tersebut. Bangunan ini
dulunya merupakan sebuah gudang atau tempat penyimpanan
peralatan tambang milik Oost Borneo Maatschapij (OBM),
perusahaan tambang Belanda yang berdiri sejak akhir abad ke-19.

Tampak luar
bangunan Magazijn
Photo: Agri |
|
|
Bangunan tua
yang kini dibiarkan terlantar tersebut merupakan salah satu
saksi bisu kejayaan Loa Kulu di masa lalu ketika deposit
batubara yang ada di daerah ini mulai dieksploitasi oleh OBM
pada masa pemerintahan Hindia Belanda hingga diambilalih
Perusahaan Negara (PN) Tambang Batubara pada tahun 1968 sebelum
akhirnya tutup pada tahun 1970.
Menurut pak
Ishak yang merupakan mantan karyawan perusahaan tambang
tersebut, dahulu Loa Kulu yang terletak sekitar 10 kilometer
dari Tenggarong merupakan kota yang sangat ramai, bahkan boleh
dikatakan lebih semarak dibanding ibukota Kesultanan Kutai
Kartanegara tersebut. Ribuan buruh tambang banyak yang
didatangkan dari pelosok nusantara seperti dari Sulawesi, Jawa,
Maluku, Timor dan lain sebagainya.

Sisi lain
gedung Magazijn yang tampak merana dimakan waktu
Photo: Agri |
|
|
"Selain ribuan
warga pribumi, banyak pula warga Belanda yang tinggal di Loa
Kulu. Rumah tempat tinggal kami sekarang merupakan salah satu
peninggalan pegawai Belanda. Kami membelinya dari pegawai OBM
yang bernama Mr L Vandies dengan harga sekitar Rp 40 ribu waktu
itu," ujar pak Ishak sambil menunjuk rumah panggung yang masih
mempertahankan bentuk aslinya tersebut.
Ditambahkan
pria kelahiran Loa Kulu pada tahun 1939 ini, rumah-rumah
tetangga di sekitarnya telah banyak direnovasi atau dibongkar
menjadi bangunan baru, sehingga saat ini hanya sedikit
rumah-rumah peninggalan Belanda yang tersisa di Loa Kulu. Bahkan
gedung Societiet yang terletak diatas bukit -persis di
belakang rumah tinggal keluarga pak Ishak saat ini- nyaris tak
tersisa lagi karena telah dibongkar, puing-puing bangunan elit
warga Eropa itu pun sudah tertutup rumput liar dan semak
belukar.
Diakui pak
Ishak bahwa keramaian Loa Kulu waktu itu memang tak lepas dari
aktivitas penambangan batubara yang setiap minggunya mengapalkan
batubara menuju pasar internasional seperti Hong Kong dan
wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya. Karena setelah aktivitas
penambangan ditutup pada tahun 1970, praktis kota Loa Kulu
menjadi sepi.

Bagian dalam
gedung Magazijn yang pernah digunakan sebagai gudang
penyimpanan peralatan tambang
Photo: Agri |
|
|
Dikisahkan pak
Ishak bahwa setelah Indonesia merdeka, berangsur-angsur seluruh
aset dan perusahaan Belanda yang beroperasi di seluruh nusan-tara
diserahkan kepada pemerintah Republik Indo-nesia. Perusahaan
batbara milik Belanda yang beroperasi di Loa Kulu, Bukit Asam
(Sumatera Selatan) dan Ombilin (Sumatera Barat) kemudian
diambilalih oleh PN Tambang Batubara.
Namun baru dua
tahun dikelola oleh PN Tambang Batubara, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) ini menutup aktivitas penambangan batubara di Loa
Kulu pada tahun 1970 karena alasan ekonomis dan efisiensi
setelah turunnya permintaan batubara.
"Para buruh di
Loa Kulu kemudian ditawari apakah melanjutkan pekerjaannya
dibawah PN Tambang Batubara di tempat yang baru yakni Ombilin
atau memilih untuk berhenti dan menetap di Loa Kulu dengan
mendapatkan pesangon dari perusahaan. Akhirnya sebagian
menyatakan berhenti dan sebagian pula ada yang memilih untuk
bekerja di Ombilin," ujar pak Ishak. Dan setelah itu, tambahnya,
berangsur-angsur Loa Kulu menjadi sepi bagai sebuah kota
mati yang terlupakan. (win)
|