KutaiKartanegara.com 08/05/03
Belum turunnya dana perimbangan dari pusat ke Kutai
Kartanegara hingga saat ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak di Kukar baik dari kalangan legislatif, eksekutif maupun
organisasi-organisasi yang ada di daerah ini. Keterlambatan
turunnya dana dari pusat tersebut ditanggapi oleh Dr Bambang Sumantri Brodjonegoro, pakar ekonomi dari Universitas Indonesia
yang tadi siang tampil sebagai pembicara dalam Seminar Nasional "Program Gerbang Dayaku dan Prospek Otonomi Daerah di Masa
Mendatang" di Pendopo Odah Etam, Tenggarong.
Bambang S Brodjonegoro mengatakan bahwa pemerintah pusat masih belum transparan
dalam menghitung bagi hasil migas, tapi ia memaklumi kenapa
masih ada kekurangtransparanan atau ketidakjelasan pemerintah
pusat dalam bagi hasil SDA.
Ia
memaklumi hal tersebut karena ada satu hal yang sangat penting
yang harus disadari bahwa produksi SDA sangat tinggi tingkat
fluktuasinya. Ia mencontohkan salah satu kasus yang mana
awalnya sumur tersebut diharuskan memproduksi 100 ribu
barel per hari ternyata dalam realisasi hanya mampu 50 ribu
barel saja sehingga ada ketidakpastian termasuk uang yang akan
dihasilkan. Jadi ada ketakutan atau kekuatiran dari pihak
pusat, takut jika estimasi yang dikeluarkan ternyata tak
sesuai dengan kemampuan sehingga akan menimbulkan
utang-piutang.
"Mengenai keterlambatan transfer dapat saya katakan lebih kepada masalah prosedural.
Karena untuk menghitung dana bagi hasil SDA, pertama harus ada
Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai estimasi produksi di
masing-masing sumur minyak dan gas," kata Bambang.
Menurut
Bambang, Departemen ESDM terlebih dahulu menentukan berapa
barel produksi migas di daerah kemudian membawanya ke
Departemen Keuangan. Setelah mengetahui estimasi dari
Departemen ESDM, barulah Depkeu bisa menghitung berapa bagian
masing-masing daerah penghasil SDA .
"Yang
menjadi masalah sekarang adalah waktu, sementara Kukar
berharap kalau bisa dana tersebut sudah cair pada akhir
Januari. Padahal biasanya pada bulan Desember-Januari, SK
Menteri ESDM baru keluar. Kemudian baru pada April atau Mei SK
Menkeu mengenai bagi hasil migas keluar. Jadi tak heran jika
selalu terjadi protes-protes dari daerah,"
jelas Dosen Fakultas Ekonomi UI ini.
Bambang
mengakui bahwa keterlambatan turunnya dana perimbangan dari
bagi hasil migas tersebut berakibat fatal bagi daerah yakni
terjadinya ketidakpastian di daerah yang tergantung SDA.
Sehingga mengacaukan rencana yang telah disusun, misalnya
proyek yang mestinya dilaksanakan pada bulan Maret terpaksa
baru dilaksanakan pada bulan Juni atau Agustus.
"Dan
jika dana turun belakangan misalnya Agustus atau September,
padahal proyek tidak mungkin selesai dalam waktu tiga bulan,
yang terjadi adalah surplus yang luar biasa di anggaran. Bukan
surplus karena kelebihan uang, tapi surplus karena uang yang tak sempat
digunakan. Ini sangat fatal dan merupakan PR bagi Pemerintah
Pusat yang harus segera diselesaikan,"
tandas Bambang S Brodjonegoro. (win)
|